Berapa Harga Suara Anak Muda di Kota Siantar

2 min read

SIANTAR, Newsnarasi.com – Konstelasi politik menjelang Pilkada 2024 menjadi moment krusial memilih pemimpin yang mampun menjadi agent of change demi kepentingan publik.

Teranyar, kelompok anak muda tidak sedikit yang apatis terhadap politik. Padahal, provokasi anak muda dalam menentukan pemimpin sangat diperlukan untuk mengetahui intelektualitas calon pemimpin itu sendiri.

Dalam hal ini, komunitas anak muda yang tergabung dalam kelompok aktivis, akademisi dan beberapa tokoh masyarakat menggelar diskusi publik dengan tema ‘Berapa Harga Suara Anak Muda Siantar’.

Diskusi yang digelar di Jalan Kotanopan, Pematangsiantar, Selasa (22/10/2024) itu menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang seperti, Dr Bismar Sibuea selaku akademisi Dosen USI, Maruli Tua Sihombing selaku Ketua PMKRI, Khairil Mansyah Sirait selaku Ketua PMII, Bill Fatah Nasution selaku Wasekum IMM Sumut PA 2021-2023 dan Andry Napitupulu selaku moderator.

Dalam sambutannya, Bill Fatah Nasution menjelaskan bahwa permasalahan politik di Kota Siantar ini para calon kepala daerah tidak pernah memberikan ruang terhadap anak muda untuk mengekspresikan intelektualistanya.

“Kalau kita lihat euforia konstelasi pilkada di kota siantar tahun ini, mereka para calon tidak memiliki tim milenial tersendiri sehingga faktanya dilapangan kaum muda di siantar ini apatis terhadap politik,” ucap Bill bernada sinis.

“Kesalahan sistem politik kita saat ini, para calon tidak memberikan ruang anak muda untuk berekspresi, karena mereka tidak mengerti untuk merayu kaum muda. Karena ketika anak muda memberikan program disangka mengolah,” tuturnya.

Sementara, Dr Bismar Sibuea mengatakan bahwa konstelasi politik di Kota Siantar ini menarik. Untuk mengaburkan money poltik para calon kepala daerah menyulap itu menjadi berbagai macam jenis seperti penyaluran beras, tiket, voucher ataupun hal lainnya.

Disebutkannya, dari hasil riset, sebagian besar anak muda tidak mengetahui siapa calon pemimpin daerahnya, karena alasan untuk memilih karena dihimbau orang tua.

“Seharusnya harga anak muda itu tidak bisa dibeli. Seyogianya para calon berani menduplikat program seperti diskusi dua arah di publik sehingga kita tahu kapasitas otak calon pemimpin ketika berdebat adu argumen didepan publik, bukan hanya sekedar menyampaikan visi-misi satu arah aja, itu sama saja seperti berdoa,” tegasnya.

“Mungkin anak muda siantar harus berani menawarkan gagasan lalu gagasan itu diperdebatkan dihadapan publik, jika para calon itu tidak berani makanya tidak layak dipilih dan perlu ditanyakan kapasitas intelektualnya,” tambahnya.

Kemudian, menurut Maruli Tua Sihombing para calon kepala daerah yang ikut kontelasi Pilkada di Kota Siantar tidak berani untuk melakukan debat publik bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk adu argumen.

“Suara anak muda memang tidak bisa dibeli, tapi harus bisa mendukung program yang masuk akal dan demi kepentingan publik bukan kepentingan kelompok. Jangan mau pilih calon walikota yang tidak mau berdebat adu gagasan dengan mahasiswa atau pemantik, karena dengan itu kita tau kapasitas otak para calon pemimpin kita,” pungkasnya bernada tegas.

Untuk diketahui bersama bahwa daftar pemilih tetap (DPT) di kota di kota Pematang Siantar berjumlah kurang lebih 202.000 dan hampir di dominasi oleh kaum muda lantas mau dibawa kemana suara anak muda tersebut.

Sesi diskusi dilanjutkan pada Minggu depan dengan menantang seluruh para paslon untuk hadir di tengah perdiskusa nantinya untuk meyampaikan visi serta misinya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *