Baginda Raksadipa : Bayangan di Sisi Tahta Negeri Alang Kata
2 min read
(Catatan dari Negeri Alang Kata – Bagian Pertama)
Di tanah timur jauh, berdirilah sebuah kerajaan agung nan makmur bernama Alangkata. Sawahnya hijau menghampar, sungainya jernih mengalir, dan rakyatnya hidup dalam kedamaian yang membuat iri banyak negeri seberang.
Di pucuk kerajaan, bertahta seorang pemimpin yang namanya dielu-elukan hingga ke pelosok desa: Raja Mandalaputra. Sosok bijaksana yang dikenal murah senyum, penuh kelembutan, dan memiliki hati seluas samudera. Ia mendengar sebelum memutuskan, menyambut sebelum diminta, dan memaafkan sebelum dihukum. Tak hanya pintar mengatur negeri, Mandalaputra juga mampu menenangkan hati rakyat dengan sekadar satu kalimatnya.
“Di tangan beliau, Alangkata bukan sekadar negeri—tapi rumah bagi semua,” kata seorang petani tua saat menatap puncak istana dari ladangnya.
Namun seperti semua kerajaan, tak satu pun kekuasaan berjalan sendirian.
Di sisi kanan tahta, selalu berdiri satu sosok yang tak kalah dikenal: Baginda Raksadipa. Dialah tangan kanan raja, pengatur segala urusan yang tak terlihat oleh rakyat, penyambung lidah dalam sidang, dan penjaga batas antara singgasana dan dunia luar.
Selalu tenang, nyaris tanpa ekspresi, Raksadipa dikenal sebagai arsitek kekuasaan yang sesungguhnya. Ia tak pernah duduk di tahta, tapi setiap keputusan besar kerajaan nyaris tak lepas dari bisikannya. Ia bukan bayangan, bukan pula pembantu. Ia adalah struktur yang menopang, tembok kokoh yang berdiri di balik kelembutan sang raja.
Maka ketika gulungan pengumuman dari Majelis Agung Kejayaan Negeri dibuka, rakyat tak kaget saat nama Baginda Raksadipa muncul sebagai satu dari tiga calon Penjaga Lumbung Kejayaan Kerajaan. Posisi ini bukan sembarangan. Siapa pun yang mendudukinya, akan memegang kendali atas segala urusan harta, hasil bumi, dan kekuatan finansial negeri.
https://newsnarasi.com/audit-sekda-langkat-dpd-mapancas-langkat-desak-kpk-bpk-ppatk/
“Sudah pasti itu kursi beliau,” bisik rakyat.
“Siapa yang lebih dekat dengan raja selain dia?”
Meski belum dikukuhkan, proses akhir tinggal seremonial belaka. Semua tahu, namanya telah tertulis sejak lama, bahkan sebelum seleksi dimulai. Satu-satunya hal yang bisa menggagalkan hanyalah keputusan mendadak dari sang raja—sesuatu yang hampir tak mungkin, karena Mandalaputra sangat percaya pada Raksadipa.
Namun, kabar itu tak berdiri sendiri.
Nama Nyi Laksmini, istri dari Raksadipa, mulai bergema di lorong-lorong istana. Wacana penunjukannya sebagai Pengawas Agung Istana mulai terdengar lantang. Sebuah posisi mulia, yang bertugas menjaga integritas, mengawasi para bangsawan, dan menjadi pagar terakhir sebelum rakyat dirugikan oleh kekuasaan.
Sontak, suara-suara sumbang muncul dari kalangan bawah.
“Suami mengatur harta, istri mengatur pengawasan. Apakah negeri ini akan berubah jadi ruang keluarga?”
“Sang Raja baik, tapi apakah beliau tahu bahwa bayangannya mulai menutupi cahaya?”
Namun tak satu pun suara itu terdengar hingga ke tahta. Sebab, rakyat terlalu mencintai Raja Mandalaputra. Mereka percaya, segala yang diputuskan pasti demi kebaikan. Hanya saja, tak semua yang dekat adalah murni, dan tak semua yang setia benar-benar bersih.
Baginda Raksadipa tetap berdiri, setia seperti biasa. Diam, tapi dalam diamnya tersembunyi kekuatan yang menggerakkan banyak pintu kekuasaan. Ia tahu, satu langkah lagi ia akan menggenggam kunci dari salah satu posisi paling strategis dalam kerajaan.
Dan di luar istana, rakyat menunggu.
Menunggu apakah kerajaan ini masih rumah untuk semua, Atau hanya untuk mereka yang berani berdiri cukup dekat dengan kekuasaan… tapi cukup jauh dari pengawasan.
Bersambung !!!