Fordek FH dan Ketua STIH PTM Tolak Diskriminatif Pasukan Paskibraka

2 min read

MEDAN | NARASI – Forum Dekan Fakultas Hukum & Ketua Sekolah Tinggi Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH & Ketua STIH PTM) se Indonesia meminta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mencabut aturan yang diduga bersifat diskriminatif dan melanggar HAM terkait atribut pakaian dan sikap tampang anggota Paskibraka.

Dr Faisal, SH. M.Hum selaku Ketua Fordek FH & Ketua STIH PTM menilai bahwa lepas jilbab Anggota Paskibraka, saat pengukuhan oleh Presiden sebagai bentuk tindakan diskriminatif, melanggar HAM dan tidak taat asas.

“Meskipun polemik lepas jilbab anggota paskibraka saat pengukuhan oleh Presiden telah di jawab oleh BPIP, dimana lembaga telah memberikan penjelasan terkait anggota Paskibraka tidak menggunakan jilbab saat pengukuhan, bukan sebagai unsur paksaan melainkan kesukarelaan mereka, jelas tidak menjawab dan menyelesaikan persoalan,” ujar Faisal kepada Wartawan. Rabu (14/8).

Faisal, yang juga Pengurus Hukum dan Ham Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, bahwa yang menjadi persoalan adalah aturan yang menjadi pedoman standar atribut, pakaian dan sikap tampang yang dikeluarkan BPIP, yang mengacu kepada Surat Edaran Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pembentukan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Tingkat Kabupaten Kota dan Provinsi Tahun 2024 yang harus dipatuhi anggota Paskibraka saat bertugas.

“Dengan aturan mengikat tersebut mau tidak mau adik-adik anggota paskibraka harus patuh, karena jika tidak mematuhi tentunya akan ada konsekuensi bagi mereka,” tegas Faisal.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU) ini mengatakan, kebhinekaan tidak harus sama dan seragam.

“Justru kebhinekaan harus menghormati perbedaan dan keaneka ragaman dan keyakinan setiap orang,” kata Faisal.

Menurut Faisal, seyogianya setiap peraturan yang dibuat harus memiliki landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Sementara aturan terkait atribut pakaian dan sikap tampang bagi anggota paskibraka yang dijelaskan BPIP menjawab polemik lepas jilbab anggota paskibraka tidak mencerminkan 3 landasan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dijelaskannya, landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan tidak lain adalah berkisar pada daya tangkap pembentukan hukum atau peraturan perundang undangan terhadap nilai-nilai yang terangkum dalam teori-teori filsafat maupun dalam doktrin filsafat resmi dari sebuah negara, seperti Pancasila.

Sedangkan landasan sosiologis mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat dan merupakan aspirasi masyarakat.

“Dengan kata lain bahwa diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar, bahkan dengan spontan. Bukan sebaliknya, penerimaan masyarakat atas suatu peraturan lebih disebabkan oleh keterpaksaan,” jelasnya.

Sementara landasan yuridis tentu sangat penting dalam pembentukan peraturan karena akan menunjukkan beberapa hal. Pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat badan atau pejabat yang berwenang.

Kedua, keharusan adanya kesesuaian bahwa atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur.

Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu, misalnya; setiap undang undang harus di undangkan dalam Lembaran Negara.

“Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya,” kata Faisal. Selain itu, lanjut Faisal, dalam pembentukan setiap peraturan perlu memperhatikan asas baik bersifat formil maupun materil. Oleh karena itu Fordek FH dan Ketua STIH PTM meminta aturan-aturan yang bersifat diskriminatif dan melanggar HAM harus di cabut,” pungkas Faisal. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *